| IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
oleh Ja'far Subhani, hal. 50 - 69
MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK
Faktor-faktor yang menimbulkan penyembahan manusia
kepada ciptaan adalah ketidaktahuannya dan tuntutan
alami yang mutlak dalam dirinya yang pada umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem yang
unik ini. Namun, di sisi lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan para nabi -pemandu
Ilahi dan telah ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk tak-bernyawa, hewan, ataupun sesama
manusia sebelum ia dapat mencapai tujuannya yang
sesungguhnya, yakni Tuhan Yang Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah obyek yang dicari-carinya.
Melihat ini, para ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa tujuan para nabi bukanlah untuk meyakinkan
manusia tentang adanya pencipta alam semesta.
Sesungguhnya, peran mereka yang mendasar ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan penyembahan berhala. Dengan kata lain, mereka
datang untuk mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah yang kita semua percaya akan keberadaan-Nya
adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan selain Allah," membuktikan apa
yang kami katakan di atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi Muhammad. Maksud kalimat ini ialah, tak ada
sesuatu yang patut disembah selain Allah, dan ini
berarti bahwa adanya Pencipta telah merupakan fakta
yang diakui, sehingga manusia dapat diajak untuk
menerima kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta- bukanlah hal yang
perlu dipertengkarkan. Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan percakapan para nabi dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan kaki: Tetapi, bagaimana konsepsi mereka
tentang berhala? Apakah mereka memandangnya patut
disembah dan hanya untuk menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan seperti Allah? Masalah ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan pertama itu
kuat dan terbukti.]
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara Tauhid ini dilahirkan di lingkungan gelap
penyembahan berhala dan penyembahan manusia. Manusia
menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada bintang-bintang.
Dalam situasi ini, hal yang mengangkat kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan
ketabahannya.
Tempat kelahiran pembawa panji tauhid ini adalah
Babilon. Para sejarawan telah menyatakan negeri itu
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak riwayat tentang keagungan dan
kehebatan peradaban wilayah itu. Sejarawan Yunani
kenamaan, Herodotus (483-425 SM), menulis, "Babilon
dibangun di sebuah lapangan persegi-panjang setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km. Pernyataan ini, betapapun dibesar-besarkan,
mengungkapkan realitas yang tak terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun, dari pemandangannya yang menarik dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi yang dapat
dilihat sekarang selain tumpukan lempung, di antara
sungai Tigris dan Efrat, yang diliputi kebungkaman
maut. Kebungkaman itu kadang-kadang dipecahkan oleh
para orientalis yang melakukan penggalian untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi Ibrahim, pelopor tauhid, dilahirkan di masa
pemerintahan Namrud putra Kan'an. Walaupun Namrud
menyembah berhala, ia juga mengaku sebagai tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin nampak agak ganjil bahwa seorang penyembah
berhala mengaku pula sebagai dewa. Namun, Al-Qur'an
memberikan kepada kita suatu contoh lain tentang
kepercayaan ini. Ketika Musa mengguncang kekuasaan
Fir'aun dengan logikanya yang kuat dan menguak
kebohongannya dalam suatu pertemuan umum, para
pendukung Fir'aun berkata kepadanya, "Apakah kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf, 7:127). Telah termasyhur bahwa
Fir'aun mengaku sebagai tuhan dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Namun ayat ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan terbesar yang diperoleh Namrud datang dari
para astrolog dan penenung yang dipandang sebagai
orang-orang pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka jalan bagi Namrud untuk memanfaatkan kaum
tertindas dan kalangan bodoh. Selain itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan
juga memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja sudah merupakan halangan besar bagi Ibrahim,
karena di samping harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia juga harus menghadapi perlawanan kaum
kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk pesta
dan minum-minum ketika para astrolog membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda akan runtuh melalui seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah lahir atau belum?" Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan supaya
diadakan pemisahan antara perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan para astrolog, kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya membunuh anak-anak laki-laki. Para bidan
diperintahkan untuk melaporkan rincian tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi kehamilan Ibrahim. Ibunya
hamil dan, seperti ibu Musa putra 'Imran, ia
merahasiakan kehamilan itu. Setelah melahirkan, ia
menyelamatkan diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang. Ia
meninggalkan anaknya di suatu sudut gua, dan
mengunjunginya di waktu siang atau malam, tergantung
situasi. Dengan berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya telah
dibunuh.
Ibrahim menjalani tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong masuk yang sempit, sebelum
ibunya membawanya keluar. Ketika muncul di tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing. Terhadap hal itu, ibunya berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog." (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).
Ketika keluar dari gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang yang bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh. Dilihatnya
sekelompok orang yang memperlakukan sinar bintang
dengan sangat tolol. Ia juga melihat beberapa orang
dengan tingkat kecerdasan yang bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri, kemudian
menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai tuhan mereka dan menyatakan diri sebagai
pemberi hidup kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.
Nabi Ibrahim merasa harus mempersiapkan diri untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan penyembahan berhala telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah merenggut hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka sebagai perantara untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah mempunyai penyebab
tersendiri, dan bahwa Tuhan Yang Esa tidak mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu, ilmu pengetahuan
memang belum menemukan hubungan antara makhluk dan
fenomena alami serta berbagai kejadian. Sebagai
akibatnya, orang-orang itu mengkhayalkan bahwa semua
mahluk dan berbagai fenomena alami berdiri
sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan satu sama lain.
Karena itu, mereka menganggap bahwa untuk setiap
fenomena seperti hujan dan salju, gempa bumi dan
kematian, paceklik dan kesukaran, perdamaian dan
ketentraman, kekejaman dan pertumpahan darah, dan
sebagainya, ada tuhannya masing-masing. Mereka tak
menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu
kesatuan, di mana bagiannya saling terkait dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
Pikiran bersahaja manusia masa itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah Yang Esa dan tidak
menyadari bahwa Allah yang menguasai alam semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas dari segala kelemahan dan cacat. Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya tiada
berbatas. Ia di atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa yang mampu menciptakan segala
makhluk dan fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang yang dapat mengurangi kemandirian kehendak
Allah yang tidak bersekutu, tidak dapat diterima.
Kepercayaan bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan cahaya sedang
yang satu lagi merupakan sumber kejahatan dan
kegelapan, juga tak dapat diterima. Kepercayaan bahwa
ada perantaraan oleh seseorang, seperti Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan alam semesta, atau bahwa
pengaturan tatanan dunia fisik telah dikuasakan pada
seorang manusia, merupakan manifestasi syirik dan
kelebih-lebihan. Penganut tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada para nabi dan orang suci,
memelihara keyakinan pada Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan tuntutan kepada manusia ialah metode logika dan
penalaran, karena mereka berurusan dengan pikiran
manusia. Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan keadilan,
dan pemerintahan semacam itu tak dapat didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, kita harus membedakan pemerintahan
para nabi dengan pemerintahan Fir'aun dan Namrud.
Tujuan dari kelompok yang kedua ini ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan segala cara
yang mungkin, sekalipun negara akan runtuh setelah
mereka mati. Sebaliknya, orang-orang suci bermaksud
mendirikan pemerintahan yang membawa maslahat pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah pada suatu waktu tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu tentu saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya yang menyembah berhala, di mana Azar
merupakan pentolannya. Sebelum mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah harus berjuang pada
bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas dari yang
pertama. Berlawanan dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi yang
hina dan tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan pemujaan bintang, Ibrahim menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia di zaman
itu, bahkan sekarang pun argumennya menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen Ibrahim, dan kami mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit di saat terbenamnya matahari dan
terus terjaga hingga ia terbenam lagi di hari
berikutnya. Selama 24 jam ini ia berdebat dan
berdiskusi dengan tiga kelompok, dan menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.
Kegelapan malam mendekat dan menyembunyikan segala
tanda kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala. Untuk merebut hati para
pemuja Venus, Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka seraya mengatakan,
"Itu adalah pemeliharaku." Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu sudut, ia berkata,
"Saya tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia menolak kepercayaan para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.
Pada tahap berikutnya, matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang dengan keindahannya yang
memukau. Dengan maksud merebut hati pemuja bulan,
secara lahiriah ia bersikap seakan bulan itu tuhan,
tapi kemudian ia merontokkan kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka bumi, maka tanpa
menyinggung perasaan para pemuja bulan itu, Ibrahim
berkata, "Apabila Tuhanku yang sesungguhnya tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu tatanan
dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."
Kegelapan malam berakhir dan matahari pun muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka bumi. Para pemuja matahari memalingkan wajah
mereka kepada tuhannya. Untuk menaati aturan
perdebatan, Ibrahim juga bersikap seolah mengakui
ketuhanan matahari. Namun, terbenamnya matahari
mengukuhkan bahwa ia tunduk pada suatu sistem alam
semesta yang umum, dan Ibrahim secara terbuka
menolaknya sebagai yang patut disembah.(lihat QS,
al-An'am, 6:75-79)
Tak diragukan bahwa saat tinggal di gua, melalui
anugerah Ilahi yang luar biasa, Ibrahim mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan para nabi. Namun, setelah
memperhatikan dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk argumentasi pada pengetahuan itu.
Dengan demikian, di samping menunjukkan jalan yang
benar kepada manusia dan memberikan kepada mereka
sarana bimbingan, Ibrahim telah meninggalkan
pengetahuan yang tak ternilai untuk digunakan oleh
orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.
|
0 komentar:
Posting Komentar